Biru
Putih diatas Kertas
(
Intan Septyanasari )Kupersembahkan untuk Greezaku tersayang dan sahabatku
tersayang
Pagi ini, seperti biasa aku bersiap
berangkat ke sekolah. Aku adalah siswa kelas 2 SMP. Namaku “Ramadhanti Emila”
dan biasa disapa Mila. Pagi itu, kutemukan sahabatku “Amandhita Kariza” yang
tengah duduk di depan kelas bersama “Citra Amalia” dan “Thesania Melatia” sambil
memasang wajah sedihnya. Rasa khawatirpun langsung menyelimutiku. Kuhampiri ia
sesegera mungkin. Ketika ia menatapku dengan penuh harapan agar aku mau
mendengarkan ia bicara, aku sadar jika ia sedang membutuhkan sosokku.
“ Dhit, apa yang terjadi padamu?” Tanyaku
pada Dhita.
“ Mil, bisakah kau temani nanti sepulang
sekolah ? ” Pinta Dhita padaku.
“ Tentu saja. Mengapa kau terlihat
murung?” Tanyaku kembali,
“
Sesuatu yang tak ku mau terjadi padaku, nanti saja aku ceritakan
sepulang sekolah.” Jelas Dhita.
Ketika bel pulang berbunyi, aku
langsung menghampiri Dhita yang masih terlihat tak baik dengan suasana hatinya.
Kamipun berjalan keluar kelas dan menaruh tas kami di teras kelas kami. Teras
kelas kami bagaikan cafe yang kerap di gunakan untuk berkumpul bersama. Ketika
ia menceritakan apa yang ia alami, akupun langsung bisa merasakan apa yang
Dhita rasakan. Dhita merasa kesepian karna orang tuanya yang sibuk bekerja, dan
untu bertemu dengan Dhita saja sangat sulit. Hanya kami lah satu-satunya
harapan untuk membuatnya tidak merasa kesepian.
Akhirnya saat kami dapatkan hari
libur, kami putuskan untuk menginap dirumah Dhita. Dhita merasa sangat senang
saat kita berkumpul bersama pada malam hari. Ketika kami saling tukar cerita,
Citra bercerita kalau dia mungkin tak bisa berkumpul seperti ini untuk beberapa
saat kedepan. Saat kami mendengar itu, kami lantas kaget. Saat kami tanya
mengapa, ia hanya menjawab tak terjadi apapun padanya.
Dua minggu setelah itu, kami sangat
sulit menghubungi Citra. Semua teman satu kelasnya sudah kami tanya, tapi tak
satupun orang tau. Kamipun akhirnya memutuskan untuk mencari tau apa yang
terjadi. Saat kami menghubungi rumah Citra, pembantunya meminta kami datang ke
rumah Citra sekarang. Ketika kami sampai di rumah Citra, suasana sangat hening
hingga mbak Sum datang.
“Mbak Sum, Citra dimana?” tanyaku,
“ Begini mbak, sebenarnya saya pengen
nyritain ini ke kalian dari dulu, tapi saya takut. Terus kemarin saya ditelfon
sama mas Rafli untuk ngasih tau kalian tentang mbak Citra.” Jelas mbak Sum.
“ Lantas apa yang terjadi pada Citra?
“Tanya Thesa.
“ Mbak Citra menderita penyakit akut.”
Ketika kami mendengar hal itu, kami
terkejut. Mbak Sum menjelaskan lebih banyak lagi. Sementara itu, kami hanya
bisa diam. Saat itu juga, kami langsung menuju ke alamat yang mbak Sum berikan.
Saat kami tiba di rumah yang menjadi tempat perawatan Citra, kami langsung
menemui kakak Citra.
“ Kak, Citra dimana? ” tanya Dhita,
“ Oh, kalian? Citra didalam. Masuklah,”
jawab kak Rafli.
Kami pun langsung masuk ke dalam.
Dan ketika kami masuk ke dalam ruangan Citra, kami melihat Citra yang sedang
duduk sembari di temani perawatnya. Citra yang melihat kami, ia sangat senang
dan langsung memeluk kami.
“ Kalian?kapan kalian datang?aku
pengen main sama kalian lagi.”
“ Baru saja. Bagaimana
keadaanmu?baikkah?” jawabku.
“ ya, beginilah aku sekarang.”
Kami banyak bercerita untuk melepas
rindu kami. Sejak saat itu, Citra tak dapat berangkat ke sekolah lagi. Setiap
kali kami datang, kami selalu bercanda bersama, mengerjakan tugas sekolah
bersama, dan hampir semua kami lakukan bersama.
Selama itu pula kami selalu bermalam
di rumah perawatan Citra setiap malam minggu. Semakin lama, keadaan Citra makin
tak stabil hingga pada akhirnya ia berpisah dengan kami. Kami sangat sedih.
Sebelum ia meninggalkan kami, ia memberi kami pesan untuk kami selalu bersama.
Sejak saat itu, kami bertekad apapun yang terjadi akan kita jalani bersama.
Kapanpun dan dimanapun kami, kami tetap berempat. Sahabat
itu adalah kawan yang akan tertawa bersama saat kita jatuh, bukan menertawakan
kita saat kita jatuh.